Aceh memiliki hutan yang terletak di sepanjang rentetan bukit barisan dari Kutanace sampai ke Ulu Masen. Selain memiliki kekayaan alam yang berlimpah, Aceh juga memiliki keindahan seni budaya yang tak kalah cantik dan sayang jika kita lewatkan.
Baca Juga :
- Alat Musik Tradisional Banten
- Alat Musik Tradisional Bangka Belitung
- Alat Musik Tradisional Jawa Barat
- Alat Musik Tradisional Batak
- Alat Musik Tradisional Jakarta
- Alat Musik Tradisional Papua Barat
- Alat Musik Tradisional Papua
- Alat Musik Tradisional Sumatera Utara
- Alat Musik Tradisional Sumatera Barat
- Alat Musik Tradisional Sulawesi Tenggara
- Alat Musik Tradisional Sulawesi Utara
- Alat Musik Tradisional Sulawesi Barat
- Alat Musik Tradisional Sulawesi Selatan
Daftar Alat Musik Tradisional Aceh
Alat musik tradisional Aceh, terdiri dari:
- Arbab
- Bangsi Alas
- Bereguh
- Canang
- Calempong
- Geundrang
- Rapai
- Serune Kalee
- Taktok Trieng
- Tambo
Berbicara tentang budaya dan kesenian, Aceh memiliki beragam kesenian tari-tarian dan alat musik, berikut daftar nama beserta gambar dan penjelasannya.
1. Arbab
Arbab dimainkan dengan cara digesek
Arbab adalah alat musik tradisional Aceh yang biasanya digunakan dalam acara pertunjukan hiburan rakyat seperti ketika ada pasar malam, pawai dan sebagainya.
Arbab memiliki tas 2 bagian yaitu alat musik dan alat penggesek. Arbab juga berkembang di daerah Pidie, Aceh Besar & Aceh Barat. Lagu yang dibawakan umumnya berupa cerpen yang diselingi dengan humor ringan yang mudah ditangkap pendengar.
Alat musik gesek ini menggunakan bahan dari alam, seperti tempurung kelapa, kulit hewan dan kayu dalam pembuatannya. Untuk busur penggeseknya terbuat dari serat tumbuhan, rotan atau kayu.
2. Bangsi Alas
Bangsi Alas dimainkan dengan cara ditiup
Bangsi adalah jenis alat musik tradisional Aceh yang memiliki panjang sekitar 41 cm dan diameter sekitar 3 cm, memiliki 7 lubang di bagian atas yang berfungsi untuk mengatur melodi musik
Pembuatan bangsi dulunya identik dengan adanya kabar duka meninggalnya seorang warga di tempat bangsi dibuat. Jika memang Bangsi dibuat untuk menghormati orang yang meninggal tersebut, nantinya bangsi yang sudah jadi akan dihanyutkan di sungai.
Penggunaan bangsi di tanah adalah sebagai pengiring Tarian Landok Alun, tarian khas dari desa Telangat Pagan. Tarian ini menggambarkan kegembiraan para petani yang mendapatkan rezeki dari Tuhan.
3. Bereguh
Bereguh dimainkan dengan cara ditiup
Bereguh terbuat dari tanduk kerbau yang telah diolah. Bereguh berfungsi sebagai alat musik yang digunakan untuk berkomunikasi antar masyarakat Aceh pada zaman dulu.
Di beberapa daerah seperti Pidie, Aceh utara & Aceh besar, mungkin tahu bagaimana keadaan daerah tersebut dulunya, masyarakat tinggal berjauhan satu sama lainnya. Dengan meniup Bereguh, orang lain bisa memperkirakan posisi dan jarak mereka.
Suara yang dihasilkan tergantung dari kekuatan nafas & teknik yang digunakan oleh pengguna. Bereguh juga bisa dimanfaatkan jika kita berada di dalam hutan agar tak terpisah dari pemandu atau teman pendaki lain.
4. Canang
Canang dimainkan dengan cara dipukul
Canang, satu dari alat musik tradisional provinsi Aceh yang saat bertemu masyarakat Gayo, Tamiang, dan Alas. Mungkin, alat musik ini lebih dikenal dengan sebutan Canang Trieng, Teganing atau Kecapi.
Fungsi canang umumnya sebagai instrumen pengiring tarian. Canang juga biasa digunakan untuk menghibur anak gadis yang sedang berkumpul pada masa itu. Canang dimainkan saat waktu senggang atau saat bosan.
5. Calempong
Calempong dimainkan dengan cara dipukul
Calempong Aceh adalah alat musik tradisional yang mirip Sharon. Calempong diperkirakan telah berusia lebih dari 100 tahun dan berkembang di daerah sekitar Tamiang. Sekarang, keberadaannya sudah hampir punah dan sulit ditemukan.
Alat musik tradisional Aceh ini biasanya dimainkan oleh kaum wanita, terutama usia remaja. Calempong dipukul menggunakan alat pemukul khusus. Calempong bisa menghasilkan nada yang nyaman di telinga.
Calempong terbuat dari logam dan wadahnya terbuat dari kayu (6 – 7 kayu), kayu yang biasa digunakan biasanya Tampun sengkuyung. Tiap calempong berbeda, dari ukuran, lebar hingga suara yang dihasilkan.
6. Geundrang
Geundrang dimainkan dengan cara dipukul
Geundrang adalah instrumen yang berbentuk seperti gendang, alat musik tradisional Aceh ini dipukul menggunakan telapak tangan atau alat pemukul khusus. Fungsi dari geundrang adalah untuk mengatur tempo pada saat pertunjukan.
Posisi dalam memainkan geundrang bisa berdiri atau duduk, tergantung dari latar kondisi pertunjukan. Sampai saat ini Geundrang masih bisa kita temukan, meski hanya sekadar penampilan tradisional.
Geundrang banyak dijumpai di daerah Aceh besar dan di pesisir Aceh seperti Pidie dan Aceh utara. Geundrang tidak memiliki tangga nada, jadi nada yang keluar murni berasal dari teknik memukulnya.
Geundrang biasanya terbuat dari kayu nangka, ditutupi kulit kambing atau sapi, ditambah dengan rotan pengikat. Pembuatannya diawali dengan membuat lubang pada kayu nangka yang berbentuk silinder dengan panjangnya 40-50 cm.
Selanjutnya kulit hewan yang sudah disiapkan dipasang pada rangkanya. Pemukul geundrang terbuat dari kayu yang ujungnya sedikit bengkok dan pipih.
7. Rapai
Rapai dimainkan dengan cara dipukul
Rapai merupakan instrumen musik yang dibuat dari kayu dan kulit ternak. Menurut Z.H Idris, alat musik ini berasal dari Irak (Baghdad) lalu dibawa ke Indonesia oleh seorang penyiar agama Islam, Syekh Rapi.
Dalam sebuah pertunjukan, rapai dimainkan 8 – 12 orang pemain yang dikenal dengan nama awak Rapai. Alat musik rapai berfungsi untuk mengatur tempo permainan bersama dengan Serune Kalee.
Berdasarkan fungsinya, rapai aceh terbagi menjadi beberapa jenis, yaitu:
- Rapai Pulot
- Rapai Pasee (rapai gantung)
- Rapai Daboih
- Rapai Geurimpheng (rapai macam)
- Rapai Anak/tingkah
- Rapai kisah
Rapai mirip dengan rebana, berbentuk seperti panci dengan ukuran beragam. Rapai bisa dimainkan sendirian, namun lebih bagus jika dimainkan secara berkelompok seperti marawis.
8. Serune Kalee
Serune Kalee dimainkan dengan cara ditiup
Alat musik tradisional Aceh ini berbentuk seperti terompet yang memanjang dengan ujung yang melebar. Ketika dimainkan, serune kalee diiringi dengan alat musik lain seperti geundrang, rapai, dan instrumen musik tradisional lainnya.
Hingga saat ini, serune kalee masih digunakan untuk acara-acara tradisional seperti penyambutan tamu, acara nikahan, atau acara hiburan.
Untuk pembuatannya, para pengrajin membutuhkan kayu pilihan dengan karakteristik kuat, keras namun ringan. Sebelum dibuat menjadi alat musik, kayu pilihan akan direndam air selama 3 bulan lamanya.
Setelah kayu selesai direndam, kayu dipangkas hingga tersisa bagian yang akan dijadikan alat musik, disebut dengan panggilan hati kayu. Hati kayu akan dibor untuk membuat lubang dengan diameter 2 cm, lalu membuat lubang – lubang nada yang berjumlah 6 buah.
9. Taktok Trieng
Taktok Trieng dimainkan dengan cara dipukul
Seperti rapai, taktok trieng dimainkan dengan cara dipukul menggunakan tangan, alat musik ini terbuat dari bambu. Taktok trieng ini mudah dijumpai di daerah Aceh besar dan Kab. Aceh lainnya.
Taktok trieng biasanya digunakan di Meunasah, balai pertemuan dan di tempat yang sekiranya pantas untuk diadakan pentas musik. Selain bisa untuk menghibur, alat musik ini juga digunakan untuk mengusir burung ataupun serangga.
10. Tambo
Tambo dimainkan dengan cara dipukul
Tambo dipukul menggunakan sepasang alat pemukul kayu. Tambo berukuran terlalu besar untuk dibawa oleh 1 orang dan suara yang dihasilkan juga cukup gagah.
Dulu, tambo dipukul agar masyarakat berkumpul untuk bermusyawarah di tempat tertentu, biasanya Tambo diletakkan di Meunasah. Jadi, jika nanti ada keperluan mendadak bisa langsung memanggil warga.
Dalam pembukaan sebuah acara yakni Pekan Nasional Kontak Tani Nelayan Andalan 2017 (Penas KTNA) yang dibuka oleh Bapak Presiden Joko Widodo juga menggunakan Tambo.
Sumber referensi:
- Aceh | Wikipedia Bahasa Indonesia
- Geundrang | Perpustakaan Digital Budaya Indonesia
- Rapai Aceh | Perpustakaan Digital Budaya Indonesia
- Calempong | Perpustakaan Digital Budaya Indonesia
- DetikNews. Agus Setyadi. Diakses Sabtu, 23 Juli 2019